Saya,
Anda dan kita semua, manusia pengisi jagad raya ini memiliki motif hidup yang
beragam tetapi pada dasarnya adalah satu yaitu mendapat penghargaan sosial. Maksud
penghargaan sosial di sini adalah diterima oleh orang-orang di sekitar kita. Untuk
mendapatkan penghargaan sosial tersebut manusia menempuh berbagai cara yang
berbeda dikarenakan pola pikir setiap manusia tidaklah sama. Orang yang
berpikir jikalau orang pintar akan lebih dihargai dalam sistem masyarakata,
maka dia akan belajar dan berupaya agar pintar. Orang yang berfikir bahwa
pemuka agama lebih dihargai dalam masyarakat, maka dia akan mati-matian
bergabung dengan kaum rohaniawan, mendalami agamanya dan menambah ilmu
pengetahuannya di bidang agama. Itu semua semata-mata untuk memuaskan hasrat dalam
dirinya agar mendapat penghargaan, posisi yang lebih tinggi di mata orang-orang
sekitarnya.
Mengapa
demikian? Bagaimana sejarahnya sehingga terbentuk pola pikir yang seperti itu
pada manusia? Manusia dilahirkan ke dunia bagaikan selembar kertas putih
bersih. Semuanya seperti itu, yang membedakannya adalah IQ, ibaratnya seberapa
luas kertas putih tersebut sehingga seberapa banyak tulisan yang dapat
ditampung oleh kertas tersebut. Pola pikir, kedewasaan diri merupakan produk
dari EQ seseorang. EQ dibentuk oleh pengaruh sosial yang terjadi pada manusia
tersebut sejak lahir. Misalnya saya sejak kecil bercita-cita menjadi dokter. Hal
ini tidak semata-mata ada bersama saya sejak lahir, melainkan motif hidup yang
saya pelajari dari orang-orang sekitar saya. Saya tidak ingin menjadi dokter
jikalau saya tidak mendengar orang lain memuji dan menghargai profesi dokter. Saya
tidak ingin pintar jikalau ayah saya tidak memuji prestasi kaka saya. Oleh karena
itu, agar saya lebih dihargai, dipuji dan diterima oleh orang lain (menurut
pemikiran saya) maka saya harus menjadi dokter. Demikian halnya dengan orang
yang menurut kita sangat baik dan tanpa pamrih adalah mereka yang rela
mengabdikan dirinya menjadi pelayan umat di berbagai agama. Ini merupakan
pilihan hidup yang mereka yakini agar lebih dihargai dan diterima di
lingkungannya. Bukanlah semata-mata tulus untuk mengikut Tuhan akan tetapi
mereka meyakini selain berada di jalan yang benar, mereka akan dihargai
diangkat derajatnya di lingkungan masyarakat.
Apakah
hal ini merupakan suatu dosa? Saya rasa tidak. Dosa atau bukan terletak pada
cara kita menanggapi hasrat tersebut. Bila manusia menerima perbedaan, berlaku
sama bagi sesamanya, tidak ada hasrat, tidak ada iri, tidak ada alasan dan
menerima segala hal begitu saja maka hidup manusia akan mati, tidak ada
semangat hidup. Bila hal itu terjadi, tidak ada lagi gairah untuk mencapai sesuatu
yang lebih dari yang sudah ia miliki, untuk lebih maju dan berhasil. Saya jamin
tidak ada orang seperti itu di dunia ini. Bila ada, tingkat kedewasaannya sudah
sempurna. Hasrat sosial sebenarnya sangat perlu untuk menumbuhkan semangat
hidup manusia. Sungguh manusiawi. Akan tetapi manusia menanggapi hasrat sosialnya dengan cara yang
berbeda-beda. Ada yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara
sampai-sampai berbuat sesuatu yang melanggar aturan agama. Inilah yang disebut
dosa.
*seperti dalam ilmu Hubungan Internasional "there is no free lunch" :)