Powered By Blogger

Kamis, 11 Februari 2016

Motif Hidup Manusia




Saya, Anda dan kita semua, manusia pengisi jagad raya ini memiliki motif hidup yang beragam tetapi pada dasarnya adalah satu yaitu mendapat penghargaan sosial. Maksud penghargaan sosial di sini adalah diterima oleh orang-orang di sekitar kita. Untuk mendapatkan penghargaan sosial tersebut manusia menempuh berbagai cara yang berbeda dikarenakan pola pikir setiap manusia tidaklah sama. Orang yang berpikir jikalau orang pintar akan lebih dihargai dalam sistem masyarakata, maka dia akan belajar dan berupaya agar pintar. Orang yang berfikir bahwa pemuka agama lebih dihargai dalam masyarakat, maka dia akan mati-matian bergabung dengan kaum rohaniawan, mendalami agamanya dan menambah ilmu pengetahuannya di bidang agama. Itu semua semata-mata untuk memuaskan hasrat dalam dirinya agar mendapat penghargaan, posisi yang lebih tinggi di mata orang-orang sekitarnya.
Mengapa demikian? Bagaimana sejarahnya sehingga terbentuk pola pikir yang seperti itu pada manusia? Manusia dilahirkan ke dunia bagaikan selembar kertas putih bersih. Semuanya seperti itu, yang membedakannya adalah IQ, ibaratnya seberapa luas kertas putih tersebut sehingga seberapa banyak tulisan yang dapat ditampung oleh kertas tersebut. Pola pikir, kedewasaan diri merupakan produk dari EQ seseorang. EQ dibentuk oleh pengaruh sosial yang terjadi pada manusia tersebut sejak lahir. Misalnya saya sejak kecil bercita-cita menjadi dokter. Hal ini tidak semata-mata ada bersama saya sejak lahir, melainkan motif hidup yang saya pelajari dari orang-orang sekitar saya. Saya tidak ingin menjadi dokter jikalau saya tidak mendengar orang lain memuji dan menghargai profesi dokter. Saya tidak ingin pintar jikalau ayah saya tidak memuji prestasi kaka saya. Oleh karena itu, agar saya lebih dihargai, dipuji dan diterima oleh orang lain (menurut pemikiran saya) maka saya harus menjadi dokter. Demikian halnya dengan orang yang menurut kita sangat baik dan tanpa pamrih adalah mereka yang rela mengabdikan dirinya menjadi pelayan umat di berbagai agama. Ini merupakan pilihan hidup yang mereka yakini agar lebih dihargai dan diterima di lingkungannya. Bukanlah semata-mata tulus untuk mengikut Tuhan akan tetapi mereka meyakini selain berada di jalan yang benar, mereka akan dihargai diangkat derajatnya di lingkungan masyarakat.
Apakah hal ini merupakan suatu dosa? Saya rasa tidak. Dosa atau bukan terletak pada cara kita menanggapi hasrat tersebut. Bila manusia menerima perbedaan, berlaku sama bagi sesamanya, tidak ada hasrat, tidak ada iri, tidak ada alasan dan menerima segala hal begitu saja maka hidup manusia akan mati, tidak ada semangat hidup. Bila hal itu terjadi, tidak ada lagi gairah untuk mencapai sesuatu yang lebih dari yang sudah ia miliki, untuk lebih maju dan berhasil. Saya jamin tidak ada orang seperti itu di dunia ini. Bila ada, tingkat kedewasaannya sudah sempurna. Hasrat sosial sebenarnya sangat perlu untuk menumbuhkan semangat hidup manusia. Sungguh manusiawi. Akan tetapi manusia menanggapi hasrat sosialnya dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara sampai-sampai berbuat sesuatu yang melanggar aturan agama. Inilah yang disebut dosa.

*seperti dalam ilmu Hubungan Internasional "there is no free lunch" :)