Powered By Blogger

Senin, 12 November 2012

Confucius


Pemikiran Politik Confucius

Pendahuluan
            Confucius bisa dikatakan sebagai manusia yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Kumpulan kata-kata mutiaranya, ungkapanya, dan berbagai anekdotnya membentuk suatu filsafat ideal bagi para abdi masyarakat. Berbeda dengan sang Suhu lain, ia tak ingin melihat murid-muridnya menjadi gelandangan tanpa uang yang keluyuran tanpa arah. Tujuannya adalah membuat murid-muridnya menjadi pegawai negri yang berhasil.
            Ajaran Confucius dinamakan Confucianisme. Confucianisme benar-benar sangat praktis. Aliran ini memperhatikan hal-hal yang menyangkut cara hidup dalam tataran pribadi maupun sosial. Topik yang terutama dibahasnya adalah etika dan politik. Pemikiran Confucius banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.

Pemikiran Confucius
            Confucius dilahirkan pada tahun 551 SM di negara feodal Lu, yang sekarang menjadi bagian dari provinsi utara-tengah Shantung. Ayah Confucius adalah seorang pejabat militer rendahan dan telah berusia tujuh puluh tahun ketika Confucius dilahirkan. Ketika Confucius berusia tiga tahun, ayahnya pun meninggal dan ia dibesarkan oleh ibunya.
            Confucius bertumbuh di masa feodalistik, dimana banyak polisi-polisi negara  berontak dan terus berperang. Kegetiran nasib umat manusia dalam kehidupan tradisional masyarakat Timur pada saat itu terjadi di mana-mana. Kondisi yang terjadi setiap hari ini berdampak begitu dalam bagi seorang Confucius muda. Confucius tumbuh menjadi seorang yang tegar dan selalu berpikir praktis dalam hidupnya. Confucius memahami bahwa semua penderitaan yang tersembunyi ini hanya bisa dihentikan apabila seluruh pemikiran masyarakat Cina diubah.[1] Masyarakat harus bertindak demi kepentingan semua anggotanya, dan bukan digunakan sebagai sarana perhelatan bagi para penguasa. Ia berkesimpulan bahwa tujuan dari suatu masyarakat harus diubah, tetapi masyarakat itu sendiri tidak perlu berubah.  Para penguasa harus menjalankan pemerintahan dan para pegawai dalam pemerintahan harus melaksanakan tugas-tugas mereka, seperti halnya seorang ayah harus bertindak sebagai ayah bagi anak-anaknya. Kita masing-masing harus berjuang semulia mungkin ountuk memenuhi peran kita.[2]
            Pada usia delapan belas, Confucius menikah dan mempunyai seorang anak lelakki yang dinamainya Lieu. Confucius menjalani kehidupan yang miskin dan hanya bisa bekerja sekadarnya di beberapa tempat, seperti menjadi juru tulis di toko dan penjaga hewan-hewan suci. Dalam waktu-waktu senggangnya, Confucius mempelajari sejarah, musik, dan liturgi. Ia dikenal sebagai orang terpelajar di Lu. Confucius adalah seorang pribadi yang ambisius, ia berharap pada suatu saat dia akan mendapatkan posisi yang tinggi di pemerintahan sehingga ia dapat menerapkan gagasan-gagasannya di dunia nyata. Tetapi lamaran Confucius tidak pernah mendapatkan tanggapan yang layak karena para penguasa khawatir jika Conficius merusak permainan para pejabat negara yang senang berpesta pora. Akhirnya Confucius mengajarkan pengetahuannya kepada orang lain. Confucius memutuskan untuk membangun sekolah yang berbeda, ia akan menunjukkan para calon abdi negri bagaimana caranya menjalankan pemerintahan.
            Secara hakiki, Confucius adalah seorang guru ajaran moral. Ia selalu tulus membagi ilmunya kepada orang lain. Tujuannya adalah mengajar para muridnya bagaimana cara berperilaku yang benar. Kalau mereka ingin menjadi pejabat yang mengatur rakyat, maka mereka harus lebih dulu belajar untuk mengatur dirinya sendiri. Inti yang paling utama dalam ajaran-ajarannya mempunyai suatu rangkaian yang jelas, kebajikan berarti saling mencintai antar sesama umat manusia.
            Unsur utama dalam ajaran Confucius disimbolkan dalam karakter Cina, Jen. Karakter ini merupakan suatu gabungan dari kemurahan hati, kemuliaan dan cinta atas kemanusiaan. Ketika ditanya mengenai makna jen,Confucius menjawab, “kata itu berarti mencintai sesamaumat manusia.” Kemudian ia memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, “Terdapat lima hal, dan siapapun yang bisa melaksanakannya disebut sebagai jen. Kelima hal itu ialah rasa hormat, toleransi, dapat dipercaya, ketekunan yang cerdas dan kemurahan hati. Kalau seorang manusia mempunyai rasa hormat, maka ia tak akan dihina. Kalau ia mempunyai sikap toleran, maka ia akan diterima oleh banyak orang. Jika ia dapat dipercaya, maka orang lain akan mempercayakan tanggung jawab kepadanya. Bila ia cerdas dan tekun, maka ia akan mencapai berbagai hasil. Kalau ia mempunyai sikap yang dipenuhi belas kasih, maka ia menjadi layak untuk memerintah orang lain.” Confucius memandang jen sebagai bagian dari pendidikan. Dengan kata lain, orang harus diajari mengenai perilaku ini, bukan semata mempelajarinya dari pengalaman.
            Selain jen, ajaran Confucius juga menekankan dua hal yang saling melengkapi yaitu, te (kemuliaan) ye (keadilan). Di dalam kehidupan sehari-hari, ia menekankan perlunya li (kepantasan) dan sikap hormat terhadap ritus-ritus tradisional. Arti li yang semula ialah “berkorban”. Arti ini diperluas yang mengacu pada adat kepercayaan yang diselenggarakan dalam penyajian korban, dan kemudian meliputi segala macam upacara serta basa-basi menjadi ciri khas perilaku anggota istana. Confucius bertitik tolak dari pengertian di atas,[3] bila para penguasa benar-benar bersungguh-sungguh dalam menyajikan korban kepada leluhur mereka, mengapa mereka tidak harus berbuat yang sama dalam memperhatikan pemerintahan kemaharajaan, bila para menteri memperlakukan sesama mentri dengan penuh rasa hormat dalam pergaulan sehari hari di istana, mengapa mereka tidak harus juga bersikap memperhatikan rakyat jelata, yang merupakan tulang punggung negara? Maka berkatalah Confucius pada seorang muridnya, agar kemana pun ia pergi di dunia ini, hendaklah meperlakukan kepada siapa saja yang berhubungan dengan dia seakan–akan dia ia sedang menerima tamu penting, dan apabila ia menjadi seorang pegawai pemerintah, hendaknya ia menghadapi rakyat seakan-akan ia sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian korban besar.
           

Ajaran Confucianisme sempat dicoba untuk dimusnahkan dari pemikiran masyarakat Cina. Namun hal ini tidak berhasil sebab ketua rakyat Cina selalu menggunakan nasihat Confusius dalam memberikan nasihatnya kepada rakyatnya, sehingga ajaran ini tidak benar-benar punah. Jadi, ajaran Confucianisme tetap dijalankan di dalam masyarakat Cina, dan ajaran ini tetap ada karena diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Simpulan
            Confucius memang guru yang dahsyat, dan banyak diantara muridnya yang berhasil menjadi pegawai negri yang sangat sukses. Daya tarik buah pikirannya bersifat abadi. Di Cina, generasi demi generasi memandangnya sebagai milik mereka sendiri; dewasa ini bahkan sejumlah orang komunis cina mengatakan bahwa tradisi revolusioner mereka sendiri diperoleh dari confucius. Di dunia barat pengaruhnya lebih besar daripada yang kadang-kadang yang kita sadari, hal ini khusunya terjadi pada abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas. Di Barat, Confucius dikagumi oleh Leibniz dan rasionalis yang sezaman denganya, Voltaire yang berkata, “Aku menghargai Confucius. Dia adalah orang pertama yang tidak mendapatkan ilham dari khayangan.”
 Bila kita mencari dimanakah letak rahasia tariknya, maka mungkin sekali terletak pada pendiriannya yang tegas mengenai keunggulan nila-nilai manusiawi. Ia mengatakan kebijaksanaan berarti mengenal manusia, kebajikan berarti mengasihi manusia.[4]














Daftar Pustaka

H.G, Creel, 1989, Alam Pikiran Cina, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Strathern, Paul. 2001. 90 Menit Bersama Confucius, Jakarta: Erlangga.




















TUGAS KE- 2

PEMIKIRAN POLITIK CONFUCIUS




PASULINA SIDABUTAR
1101112287
PEMIKIRAN POLITIK TIMUR/ A


JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2012


[1] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Confucius (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), hal. 7.

[2] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Confucius (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), hal. 8.

[3]  Creel, H.G., Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius sampai Mao Dzedong; penerjemah, Soejono, Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 32.

[4]  Creel, H.G., Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius sampai Mao Dzedong; penerjemah, Soejono, Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar