Pemikiran Politik Confucius
Pendahuluan
Confucius bisa dikatakan sebagai
manusia yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Kumpulan kata-kata
mutiaranya, ungkapanya, dan berbagai anekdotnya membentuk suatu filsafat ideal
bagi para abdi masyarakat. Berbeda dengan sang Suhu lain, ia tak ingin melihat
murid-muridnya menjadi gelandangan tanpa uang yang keluyuran tanpa arah.
Tujuannya adalah membuat murid-muridnya menjadi pegawai negri yang berhasil.
Ajaran Confucius dinamakan
Confucianisme. Confucianisme benar-benar sangat praktis. Aliran ini memperhatikan
hal-hal yang menyangkut cara hidup dalam tataran pribadi maupun sosial. Topik
yang terutama dibahasnya adalah etika dan politik. Pemikiran Confucius banyak
membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Pemikiran Confucius
Confucius
dilahirkan pada tahun 551 SM di negara feodal Lu, yang sekarang menjadi bagian
dari provinsi utara-tengah Shantung. Ayah Confucius adalah seorang pejabat
militer rendahan dan telah berusia tujuh puluh tahun ketika Confucius
dilahirkan. Ketika Confucius berusia tiga tahun, ayahnya pun meninggal dan ia
dibesarkan oleh ibunya.
Confucius bertumbuh di masa
feodalistik, dimana banyak polisi-polisi negara
berontak dan terus berperang. Kegetiran nasib umat manusia dalam
kehidupan tradisional masyarakat Timur pada saat itu terjadi di mana-mana.
Kondisi yang terjadi setiap hari ini berdampak begitu dalam bagi seorang
Confucius muda. Confucius tumbuh menjadi seorang yang tegar dan selalu berpikir
praktis dalam hidupnya. Confucius memahami bahwa semua penderitaan yang
tersembunyi ini hanya bisa dihentikan apabila seluruh pemikiran masyarakat Cina
diubah.[1]
Masyarakat harus bertindak demi kepentingan semua anggotanya, dan bukan
digunakan sebagai sarana perhelatan bagi para penguasa. Ia berkesimpulan bahwa
tujuan dari suatu masyarakat harus diubah, tetapi masyarakat itu sendiri tidak
perlu berubah. Para penguasa harus
menjalankan pemerintahan dan para pegawai dalam pemerintahan harus melaksanakan
tugas-tugas mereka, seperti halnya seorang ayah harus bertindak sebagai ayah
bagi anak-anaknya. Kita masing-masing harus berjuang semulia mungkin ountuk
memenuhi peran kita.[2]
Pada usia delapan belas, Confucius
menikah dan mempunyai seorang anak lelakki yang dinamainya Lieu. Confucius
menjalani kehidupan yang miskin dan hanya bisa bekerja sekadarnya di beberapa
tempat, seperti menjadi juru tulis di toko dan penjaga hewan-hewan suci. Dalam
waktu-waktu senggangnya, Confucius mempelajari sejarah, musik, dan liturgi. Ia
dikenal sebagai orang terpelajar di Lu. Confucius adalah seorang pribadi yang
ambisius, ia berharap pada suatu saat dia akan mendapatkan posisi yang tinggi
di pemerintahan sehingga ia dapat menerapkan gagasan-gagasannya di dunia nyata.
Tetapi lamaran Confucius tidak pernah mendapatkan tanggapan yang layak karena
para penguasa khawatir jika Conficius merusak permainan para pejabat negara
yang senang berpesta pora. Akhirnya Confucius mengajarkan pengetahuannya kepada
orang lain. Confucius memutuskan untuk membangun sekolah yang berbeda, ia akan
menunjukkan para calon abdi negri bagaimana caranya menjalankan pemerintahan.
Secara hakiki, Confucius adalah
seorang guru ajaran moral. Ia selalu tulus membagi ilmunya kepada orang lain.
Tujuannya adalah mengajar para muridnya bagaimana cara berperilaku yang benar.
Kalau mereka ingin menjadi pejabat yang mengatur rakyat, maka mereka harus
lebih dulu belajar untuk mengatur dirinya sendiri. Inti yang paling utama dalam
ajaran-ajarannya mempunyai suatu rangkaian yang jelas, kebajikan berarti saling
mencintai antar sesama umat manusia.
Unsur utama dalam ajaran Confucius
disimbolkan dalam karakter Cina, Jen. Karakter ini merupakan suatu gabungan
dari kemurahan hati, kemuliaan dan cinta atas kemanusiaan. Ketika ditanya
mengenai makna jen,Confucius menjawab, “kata
itu berarti mencintai sesamaumat manusia.” Kemudian ia memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, “Terdapat
lima hal, dan siapapun yang bisa melaksanakannya disebut sebagai jen. Kelima
hal itu ialah rasa hormat, toleransi, dapat dipercaya, ketekunan yang cerdas
dan kemurahan hati. Kalau seorang manusia mempunyai rasa hormat, maka ia tak
akan dihina. Kalau ia mempunyai sikap toleran, maka ia akan diterima oleh
banyak orang. Jika ia dapat dipercaya, maka orang lain akan mempercayakan
tanggung jawab kepadanya. Bila ia cerdas dan tekun, maka ia akan mencapai
berbagai hasil. Kalau ia mempunyai sikap yang dipenuhi belas kasih, maka ia
menjadi layak untuk memerintah orang lain.” Confucius memandang jen sebagai
bagian dari pendidikan. Dengan kata lain, orang harus diajari mengenai perilaku
ini, bukan semata mempelajarinya dari pengalaman.
Selain jen, ajaran Confucius juga
menekankan dua hal yang saling melengkapi yaitu, te (kemuliaan) ye (keadilan).
Di dalam kehidupan sehari-hari, ia menekankan perlunya li (kepantasan) dan sikap hormat terhadap ritus-ritus tradisional. Arti
li yang semula ialah “berkorban”. Arti ini diperluas yang mengacu pada adat
kepercayaan yang diselenggarakan dalam penyajian korban, dan kemudian meliputi
segala macam upacara serta basa-basi menjadi ciri khas perilaku anggota istana.
Confucius bertitik tolak dari pengertian di atas,[3]
bila para penguasa benar-benar bersungguh-sungguh dalam menyajikan korban
kepada leluhur mereka, mengapa mereka tidak harus berbuat yang sama dalam
memperhatikan pemerintahan kemaharajaan, bila para menteri memperlakukan sesama
mentri dengan penuh rasa hormat dalam pergaulan sehari hari di istana, mengapa
mereka tidak harus juga bersikap memperhatikan rakyat jelata, yang merupakan
tulang punggung negara? Maka berkatalah Confucius pada seorang muridnya, agar
kemana pun ia pergi di dunia ini, hendaklah meperlakukan kepada siapa saja yang
berhubungan dengan dia seakan–akan dia ia sedang menerima tamu penting, dan
apabila ia menjadi seorang pegawai pemerintah, hendaknya ia menghadapi rakyat
seakan-akan ia sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian
korban besar.
Ajaran
Confucianisme sempat dicoba untuk dimusnahkan dari pemikiran masyarakat Cina.
Namun hal
ini tidak berhasil sebab ketua rakyat Cina selalu menggunakan nasihat Confusius
dalam memberikan nasihatnya kepada rakyatnya, sehingga ajaran ini tidak
benar-benar punah. Jadi, ajaran Confucianisme tetap dijalankan di dalam
masyarakat Cina, dan ajaran ini tetap ada karena diteruskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Simpulan
Confucius memang
guru yang dahsyat, dan banyak diantara muridnya yang berhasil menjadi pegawai
negri yang sangat sukses. Daya tarik buah pikirannya bersifat abadi. Di Cina,
generasi demi generasi memandangnya sebagai milik mereka sendiri; dewasa ini
bahkan sejumlah orang komunis cina mengatakan bahwa tradisi revolusioner mereka
sendiri diperoleh dari confucius. Di dunia barat pengaruhnya lebih besar
daripada yang kadang-kadang yang kita sadari, hal ini khusunya terjadi pada
abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas. Di Barat, Confucius dikagumi oleh Leibniz
dan rasionalis yang sezaman denganya, Voltaire yang berkata, “Aku menghargai
Confucius. Dia adalah orang pertama yang tidak mendapatkan ilham dari
khayangan.”
Bila kita mencari dimanakah letak rahasia
tariknya, maka mungkin sekali terletak pada pendiriannya yang tegas mengenai
keunggulan nila-nilai manusiawi. Ia mengatakan kebijaksanaan berarti mengenal
manusia, kebajikan berarti mengasihi manusia.[4]
Daftar Pustaka
H.G,
Creel, 1989, Alam Pikiran Cina, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Strathern,
Paul. 2001. 90 Menit Bersama Confucius, Jakarta: Erlangga.
TUGAS
KE- 2
PEMIKIRAN POLITIK CONFUCIUS
PASULINA SIDABUTAR
1101112287
PEMIKIRAN POLITIK TIMUR/ A
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2012
[1] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Confucius (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), hal. 7.
[2] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Confucius (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), hal. 8.
[3] Creel,
H.G., Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius sampai Mao Dzedong; penerjemah,
Soejono, Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 32.
[4]
Creel, H.G., Alam Pikiran Cina: Sejak
Confucius sampai Mao Dzedong; penerjemah, Soejono, Soemargono (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989), hal. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar